Pemilu Proporsional Tertutup Diskema Oligarki Politik Nasional

Argakus, Sekretaris Kaderisasi PC PMII Tarakan

Opini, Politik355 Views

Pemilihan umum untuk menentukan siapa yang akan duduk di kursi jabatan pemerintahan sebagai penyalur aspirasi masyarakat sehingga tercipta sebuah negara yang sejahtera. Tapi hal ini akan berbeda apabila keputusan akhir dari mahkamah konstitusi memutuskan bahwa pemilu 2024 akan menggunakan sistem proporsional tertutup seperti pada masa orde baru 1971-1999.

Bagaimana tidak, cikal bakal kontroversi ini muncul dari ketua komisi pemilihan umum republik Indonesia (KPU RI) yang mengomentari proses uji materi Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (UU Pemilu) dengan pernyataan bahwa pemilu tahun 2024 kemungkinan akan digelar dengan sistem proporsional tertutup.

Atas dasar pernyataan tersebut membuat geger masyarakat karena akan berdampak kepada sistem pemerintahan Indonesia 5 tahun ke depan.

Pertanyaan yang dianggap melenceng dari mandat UU Pemilu dimana seharusnya masyarakat memilih anggota legislatif sehingga ketika MK menyepakati pemilu tahun 2024 menggunakan mekanisme proporsional tertutup akan berbanding terbalik dengan UU Pemilu yang berlaku dikarenakan yang memilih atau menentukan calon yang duduk di parlemen bukan lagi masyarakat tetapi partai politik.

Ada beberapa point kekhawatiran yang akan terjadi apabila pemilu menggunakan mekanisme proporsional tertutup:

1. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan berkurang, hal ini disebabkan atas dasar pilihan masyarakat yang tidak terwujud. Apabila hal tersebut terjadi maka akhir dari pemilihan calon legislatif bukan dari masyarakat tetapi dari partai politik pengusungnya. Masyarakat akan berfikir bahwa segala sesuatu yang telah diharapkan dari calon yang dia pilih hanyalah imajinasi belaka, apabila kepercayaan masyarakat kepada pemerintah berkurang, pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah karena masyarakat bisa saja melakukan tindakan yang tidak diinginkan.

2. Politik uang akan semakin menjamur tidak akan bisa diminimalisirkan. Bagaimana tidak, tiap calon legislatif akan rela mengeluarkan modal berkali-kali lipat demi menang dalam kontestasi legislatif. Kasus yang marak terjadi dibeberapa tahun lalu pada saat pemilu adalah politik uang. Sebagai insan yang memiliki intelektual yang tinggi tentu akan melakukan segala cara untuk meminimalisirkan hingga menghilangkan praktek ilegal dalam pemilu ini. Apabila pemilu tahun 2024 kembali mengikuti sistem pemilihan umum pada saat orde baru maka tujuan untuk menangkal praktek ilegal dalam pemilu seperti politik uang tidak akan tercapai. Mengapa demikian, calon akan mengeluarkan modal yang besar untuk kampanye ditambah lagi akan mengeluarkan modal untuk bersaing di internal partai politiknya. Apabila persaingan uang terjadi di internal politik maka modal yang dikeluarkan bukan dalam jumlah yang sedikit tetapi dengan jumlah yang fantastis dikarena setiap calon pasti membawa modal yang besar untuk kontestasi tersebut. Sehingga apabila hal ini terjadi maka yang dikhawatirkan adalah calon legislatif tidak berfokus untuk mensejahterahkan masyarakat tetapi berfokus untuk mengembalikan modal yang telah dia keluarkan.

3. Nepotisme pemerintahan akan tercipta. Hal tersebut dikarenakan penentuan calon yang duduk di parlemen berasal dari keputusan partai. Manusia normal akan selalu mengutamakan orang terdekatnya untuk mendapatkan kemenangan, sama halnya dengan kursi jabatan. Calon legislatif yang memiliki relasi supermasi dalam partai akan mendapatkan peluang yang begitu besar untuk dipilih sebagai perwakilan partai duduk di kursi parlemen sehingga akan tercipta nepotisme di pemerintahan, inilah yang tidak diinginkan dikemudian hari.

4. Partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya dilembaga legislatif secara tidak langsung digantikan oleh partai politik. Pemilu yang seharusnya sebagai ajang pesta rakyat untuk menentukan perwakilannya di pemerintahan tetapi malah digantikan oleh partai dalam penentuannya.

5. Berpeluang menghilangkan relasi dan tanggung jawab sosial calon legislatif kepada masyarakat karena calon legislatif akan merasa lebih bertanggung jawab kepada partai politiknya karena dia dipilih oleh partainya sebagai legislator.

Dapat menjadi gambaran besar bagi negara kedepannya apabila pemilu tahun 2024 menggunakan mekanisme proporsional tertutup.

Sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menaruh kepercayaan kepada partai politik dalam menentukan calon terpilih apabila skema tersebut dilakukan. Pernyataan yang sabgat kontroversi tersebut yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu telah melanggar kode etik yang telah diatur dalam pasal 8 huruf c Peraturan DKPP nomor 2 tahun 2017 tentang kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.

Atas dasar tersebutlah penolakan terhadap pemilu dengan mekasime proporsional tertutup tidak boleh disahkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *