Oleh:
Ary Fahd – Pegiat Media Sosial
Kami sedang rindu. Rindu pada masa-masa polos ketika orangtua kami selalu punya cara jitu untuk menakut-nakuti kami agar jadi anak baik. “Kalau kamu nakal, nanti ditangkap Pak Polisi, loh.” Dulu, kalimat itu punya bobot. Polisi, dalam imajinasi masa kecil kami, adalah sosok pahlawan tegap, tegas, dan pembela kebenaran. Penjaga bagi keamanan dan ketertiban masyarakat, penyelamat si lemah, musuh bebuyutan para penjahat.
Tapi Pak, hari ini kami tumbuh. Dan seperti kebanyakan mimpi masa kecil yang dipatahkan realita, harapan kami tentang citra polisi juga perlahan hancur. Apalagi kalau melihat apa yang baru-baru ini terjadi di wilayah Bapak bertugas.
Disaat Bapak sibuk membangun citra, masyarakat justru dikejutkan oleh kabar yang jauh dari kata “membangun”. Tujuh oknum anggota Polres Nunukan ditangkap karena diduga terlibat dalam jaringan narkoba. Bukan satu atau dua, tapi tujuh! Dan ini bukan personel sembarangan. Salah satunya menjabat sebagai Kepala Satuan Narkoba. Ya, Kasat Narkoba. Harus kami ulang dua kali, karena publik pun masih tertegun membaca berita ini.
Ini bukan ironi. Ini tragedi. Kalau polisi saja ikut terlibat dalam penyelundupan, bagaimana masyarakat bisa merasa aman? Kalau kepala pasukan pemberantasan narkoba justru bermain-main dengan narkoba, siapa yang tersisa untuk bisa kami percaya?
Dan ini bukan insiden pertama. Sebelumnya, publik juga disuguhkan kabar yang tak kalah ajaib, hilangnya sabu seberat 12 kilogram dari ruang penyimpanan barang bukti di Polda Kaltara. Mohon maaf, 12 kilogram sabu itu bukan barang kecil. Ini bukan sendal jepit atau charger HP yang bisa terselip di bawah meja. Ini barang bukti kasus besar, bernilai miliaran rupiah, dan bisa menghancurkan ribuan nyawa jika kembali beredar di jalanan.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin barang sebesar dan sepenting itu bisa hilang tanpa jejak? Tanpa penjelasan yang tuntas? Tanpa siapa pun yang betul-betul dimintai pertanggungjawaban?
Masyarakat dibuat seperti menonton pertunjukan sulap. Tapi ini bukan hiburan, ini penghinaan terhadap akal sehat publik. Sungguh menyedihkan.
Di tengah badai kepercayaan yang terus menggerus citra institusi, kami pun membaca kabar lain yang mohon maaf membuat kami tersenyum getir. Polda Kaltara membangun jembatan di Desa Tanjung Buka, Bulungan, demi menyelamatkan warga dari serangan buaya saat menyeberang sungai. Sungguh langkah mulia. Tapi ironi yang tak bisa dihindari adalah, hari ini warga justru lebih takut kepada ‘buaya yang pakai seragam’. Setidaknya, buaya di sungai tak berpura-pura melindungi.
Kami juga membaca berita tentang niat baik Kombes Pol Yudhistira yang ingin membantu perbaikan SD 003 Tanjung Palas Tengah. Patut diapresiasi. Tapi bagaimana kami bisa menaruh harapan pada perbaikan infrastruktur jika integritas aparat yang mendasarinya justru rapuh dan mudah dibeli?
Apa yang sedang terjadi di Polda Kaltara lebih dari sekadar “ulah oknum”. Ini adalah krisis integritas. Bukan soal satu-dua orang nakal yang menyimpang, tapi soal pola, pembiaran, dan mungkin jangan-jangan sebuah sistem yang sudah terlalu nyaman hidup dalam abu-abu.
Publik tahu bahwa membangun kepercayaan itu seperti membangun rumah. Butuh waktu, tenaga, dan pondasi kuat. Tapi menghancurkannya bisa dalam satu malam, atau bahkan satu penangkapan.
Pak Kapolda, mungkin sudah saatnya kita jujur dan terbuka. Tidak semua orang yang berseragam di institusi yang Bapak pimpin punya semangat melayani, melindungi, dan mengayomi. Sebagian mungkin hanya mencari keuntungan, membangun kerajaan kecil di balik seragam, dan ikut bermain dalam kejahatan yang mereka sendiri seharusnya perangi.
Kami ingin percaya bahwa masih banyak polisi baik di luar sana. Tapi Pak, kepercayaan itu harus dirawat, bukan diminta. Harus dibuktikan, bukan didikte. Dan hari ini, Kepolisian di wilayah Polda Kaltara sedang berada dalam jurang krisis kepercayaan yang dalam. Jika tidak ada pembenahan serius dan menyeluruh, bukan mustahil institusi ini akan semakin jauh dari hati rakyat.
Kami menanti langkah konkret. Audit menyeluruh, reformasi internal, dan keberanian untuk mencopot bahkan menghukum siapa pun yang terbukti menyalahgunakan wewenang. Bukan sekadar rotasi jabatan atau konferensi pers normatif. Tapi langkah tegas, terbuka, dan berpihak pada kebenaran.
Kami tak ingin anak-anak kami tumbuh dengan perasaan takut yang salah. Takut bukan karena mereka nakal, tapi karena mereka tak tahu siapa yang bisa mereka percaya. Kami ingin bisa berkata lagi pada anak-anak kami, “Jangan takut pada Pak Polisi. Mereka ada untuk lindungi kamu.”
Tapi hari ini, bagaimana bisa kami ucapkan kalimat itu dengan yakin?
Pak Kapolda, semoga Bapak diberi kekuatan bukan hanya untuk menghadapi badai, tapi juga untuk berani menyapu bersih sumber badai itu sendiri, dari dalam rumah sendiri. Karena jika tak ada keberanian untuk membenahi institusi dari dalam, maka jangankan kepercayaan, harapan pun akan punah.
Hormat kami,
Masyarakat yang (dulu) percaya.(*)