Tanjung Selor, NEAZONE.ID – Pemilihan umum (Pemilu) 2024 tinggal sebulan lagi. Tepatnya, digelar serentak pada 14 Februari nanti. Gereget publik menjelang hari H pemungutan suara semakin terasa. Informasi seputar kepemiluan kian riuh. Baik melalui media pers maupun platform media sosial (Medsos).
Menjelang hari H pemungutan suara, Komisi Informasi (KI) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), mengingatkan tentang pentingnya keterbukaan informasi publik (KIP). Terutama bagi para penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) maupun badan publik terkait lainnya. Sebab, KIP merupakan mandatory UUD 1945 Pasal 28 F yang menyebutkan bahwa : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Dari konstitusi dasar negara itulah kemudian lahir UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP.
KIP merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Keterbukaan informasi memberikan akses kepada publik untuk memperoleh informasi yang bermanfaat, sekaligus sebagai sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Di Indonesia sendiri pengakuan terhadap akses memperoleh informasi sebagai salah satu hak asasi yang diatur oleh undang-undang (UU).
Seperti yang disampaikan oleh Fajar Mentari selaku Ketua KI Kaltara, hak untuk mendapatkan informasi telah diatur dalam peraturan perundangan di Indonesia. Dalam mewujudkan iklim demokrasi terkait dengan keterbukaan informasi, Indonesia telah menyiapkan diri sejak awal melalui amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 maupun UU KIP, bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapat informasi, sementara lembaga penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk memberi informasi.
“Sebagaimana hak asasi, hak untuk memperoleh informasi ini juga melekat pada setiap diri warga negara Indonesia yang dijamin dalam Pasal 28 F UUD 1945. Maka, organisasi publik yang dibiayai oleh rakyat dan diawasi oleh pejabat publik terpilih, memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban mereka secara terbuka,” ujarnya.
Fajar juga menyampaikan masyarakat pemilih mesti benar-benar teredukasi dengan baik dan benar. Apa saja hak dan kewajiban mereka. Publik harus mendapatkan informasi seputar kepemiluan yang transparan, seterang-terangnya, agar tidak gagal paham.
“Semisal selama masa tenang 11 – 13 Februari, apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Baik bagi peserta Pemilu atau pemilih. Bila mendapati indikasi pelanggaran, publik harus bagaimana, apa yang bisa mereka lakukan, bagaimana cara dan melalui saluran apa melaporkannya. Sebutkan apa saja contohnya, apakah boleh mengunggah konten di Medsos yang berisi gambar calon saat masa tenang, apa konsekuensinya, dan seterusnya,’’ terang Fajar.
Lanjutnya, lalu untuk bisa menggunakan hak pilih, apakah syarat-syaratnya mesti mengantongi surat undangan, dan kalau tidak itu bagaimana, apakah cukup membawa KTP atau boleh dengan identitas diri lainnya. Selain itu, menyangkut daftar pemilih tetap (DPT), standar operating prosedur (SOP) para petugas pemilihan, dan sejenisnya.
‘’Jadi, informasi publik kepemiluan itu wajib disampaikan, secara masif dan sistematis melalui beragam platform, terkecuali informasi yang memang bersifat tertutup atau dikecualikan sesuai ketentuan. Hal ini penting dimaksimalkan sebagai upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik,” jelasnya.
Lanjut Fajar, informasi tersebut juga menyangkut nama-nama calon anggota legislatif, program-progamnya, hingga pengelolaan anggaran oleh partai peserta Pemilu. Sehingga dengan keterbukaan itu, diharapkan dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya persoalan atau konflik dampak misinformasi. Keterbukaan informasi itupun tentu akan menumbuhkaan trust publik terhadap pelaksanaan pesta demokrasi.
‘’Dengan trust itu, maka jumlah pemilih yang hadir untuk memberikan suara pada hari pemilihan menjadi tinggi. Kita semua tentu berharap, partisipasi tidak hanya sebatas memberikan suara di bilik saja, melainkan juga melibatkan pemahaman yang baik tentang isu-isu politik dan kebijakannya,’’ paparnya.
Lanjutnya lagi, signifikansi partisipasi pemilih tersebut akan membangun iklim politik serta demokrasi yang mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan negara.
’’Tentunya kita menginginkan agar tingginya partisipasi pemilih betul-betul karena masyarakat telah teredukasi, bukan karena misalnya ada mobilisasi. Bukan ilusi, tapi benar-benar demokrasi,’’ kata Fajar.
“KI sebagai lembaga independen yang tugas pokoknya menerima, memeriksa, dan memutuskan sengketa informasi, tentunya senantiasa siap saja menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi ketika ada masyarakat yang ingin mengajukan sengketa informasi Pemilu, termasuk terkait hasil Pemilu 14 Februari nanti,” imbuhnya.
Menurutnya, setiap tahapan Pemilu harus dilakukan dan disampaikan secara transparan yang bermuara pada Pemilu yang berkualitas, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Hal ini sebagaimana telah diatur dalam peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2019 tentang Standar Layanan Informasi Pemilu dan pemilihan,” jelasnya.
Selain UU tentang KIP Nomor 14 Tahun 2008, Fajar menambahkan, pemilih dan penyelenggara juga mesti mengetahui dan memahami Peraturan Komisi Informasi (PerKI) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Standar Layanan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Pemilu dan Pemilihan. Regulasi itu bertujuan untuk mewujudkan pelayanan dan pengelolaan informasi pemilu dan pemilihan secara cepat dan tepat serta mekanisme penyelesaian sengketa informasi. ‘’Jadi, prinsip umumnya adalah publik berhak tahu,’’ tutupnya. (dkisp)