Apresiasi terhadap upaya penegakan hukum tentu merupakan sikap yang wajar. Bahkan penting dalam membangun semangat reformasi dan akuntabilitas institusi negara. Namun, dalam situasi tertentu, apresiasi yang terlalu cepat dan masif justru dapat menjadi bumerang yang mengaburkan substansi persoalan.
Kasus skandal narkoba yang menyeret oknum Kasat Narkoba Polres Nunukan adalah contoh paling mutakhir. Di tengah gemparnya pemberitaan dan keterkejutan publik, muncul testimoni apresiasi secara serentak dari sejumlah tokoh pemerintah dan masyarakat. Ini patut disikapi dengan hati-hati.
Pertanyaannya: Apakah apresiasi ini benar-benar mencerminkan keberhasilan institusional? Ataukah justru menjadi cerminan dari kegagalan sistem pengawasan yang selama ini dibiarkan tumbuh dalam diam?
Sebagai ilustrasi sederhana:
Bagaimana mungkin kita memuji dokter yang berhasil menyelamatkan pasien keracunan, padahal racunnya berasal dari resep yang ia tulis sendiri?
Artinya, keberhasilan itu benar adanya. Tapi bukankah kita juga harus jujur bahwa yang menyebabkan celaka juga berasal dari sistem yang sama?
Apresiasi tidak boleh berdiri sendiri tanpa refleksi kritis. Jika pujian hanya menjadi panggung pengalihan, maka kita sedang berkontribusi dalam menormalisasi kegagalan.
Fakta-fakta resmi seharusnya membuka ruang keprihatinan, bukan sekadar perayaan. Berdasarkan dokumen LPSE dan laporan media (Bisnis Indonesia, 4 Maret 2025), Polri mengalokasikan anggaran sebesar Rp21,1 miliar dari APBN untuk dua program bertema citra:
Rp13 miliar untuk “Kepolisian Presisi Mengayomi” dan Rp8,1 miliar untuk “Kepolisian Presisi Melayani.”
Pertanyaannya, apakah anggaran sebesar itu digunakan untuk memperkuat sistem, memperbaiki pengawasan, dan membangun integritas? Atau hanya sebatas menyusun narasi yang manis di tengah realitas yang getir?
Saya mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk para tokoh, untuk melihat substansi persoalan ini dengan jernih. Jangan terburu-buru menaburkan bunga atas luka yang belum kering. Apresiasi yang sehat harus lahir dari proses evaluasi yang jujur, bukan dari tekanan opini atau rasa tak enak untuk bersikap kritis.
Kita butuh pembenahan sistem, pengawasan internal yang transparan, dan audit integritas berkala, terutama di wilayah-wilayah rawan seperti Kalimantan Utara. Yang dibutuhkan saat ini bukan pengalihan persepsi, melainkan penguatan sistemik.
Sebab jika yang kita puji adalah hasil dari kelalaian, bukankah itu sama saja dengan merayakan kegagalan?