Siaran Pers JATAM Kaltara, 15 Agustus 2022
anggul penampungan limbah beracun milik perusahaan tambang batu bara PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) kembali jebol dan mencemari Sungai Malinau di Kalimantan Utara. Peristiwa yang terjadi pada Minggu pagi (14/08/2022), sekitar pukul 05.00 WITA, menyebabkan air Sungai Malinau berwarna coklat keruh, berlumpur, serta meluap hingga menggenangi kebun-kebun warga dan memutus akses jalan penghubung antar Desa Langap dan Desa Loreh.
Jebolnya tanggul limbah PT KPUC ini juga menyebabkan pasokan air bersih warga di Sebagian Kabupaten Malinau Terganggu, terutama di Desa Malinau Hulu, Desa Tanjung Keranjang, Desa Malinau Hilir dan Desa Pelita Kanaan di Kecamatan Malinau Barat. Hal ini dikarenakan PDAM Malinau berhenti mengoperasionalkan instalasi pengolahan air, sebab baku mutu air Sungai Malinau yang telah tercemar limbah batu bara tersebut tidak memungkinkan untuk diolah menjadi air konsumsi warga.
Sejatinya, kejadian tanggul limbah tambang batu bara yang jebol dan mencemari sungai Malinau pada 14 Agustus lalu, sesungguhnya bukan yang pertama. JATAM Kaltara mencatat, pencemaran sungai Malinau oleh aktivitas tambang di kawasan hulu dan sepanjang DAS Malinau sudah terjadi sejak 2010, 2011, 2012, 2017, 2021 dan terakhir pada Minggu, 14 Agustus, lalu.
Pada 4 Juli 2017, misalnya, tanggul kolam pengendapan (settling pond/sediment pond) di Pit Betung milik PT Baradinamika Muda Sukses juga jebol dan mengakibatkan pencemaran di lokasi yang nyaris sama. Saat itu PDAM Malinau menyatakan kekeruhan air baku pada sungai tersebut mencapai 80 kali lipat dari 25 NTU (nephelometric turbidity unit) menjadi 1.993 NTU yang mengacu pada Kepmen Kesehatan NO 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum. Pada saat itu, PDAM setempat juga mematikan pelayanan air bersih selama 3 hari, sejak tanggal 7 hingga 9 Juli 2017.
Juga pada 7 Februari 2021 lalu, Tanggul penampung limbah tambang yang diduga berasal dari kolam Tuyak milik PT KPUC jebol dan mencemari Sungai Malinau. Akibat pencemaran itu, air sungai menjadi keruh-kecoklatan, ratusan ikan ditemukan mati mengambang, dan ekosistem sungai menjadi rusak. Selain itu, akses terhadap air bersih pun terganggu, setidaknya dialami warga yang tersebar di 14 desa sekitar DAS Malinau (Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban), DAS Mentarang (Lidung keminci dan Pulau Sapi), DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota). Bahkan, PDAM Malinau terpaksa menghentikan pengelolaan dan pasokan air bersih pada 8 Februari 2021 lalu akibat sumber air baku PDAM dari Sungai Malinau yang tercemar parah. Guna memenuhi kebutuhan air bersih, warga pun terpaksa menadah air hujan.
Terbukti berdasarkan hasik uji lab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yang disampaikan pada JATAM Kalimantan Utara terkait peritiwa di atas melalui surat Hasil uji sampel Sungai Malinau Nomor: S.447/HUMAS/PPIP/HMS.3/10/2021 menyatakan:
“Terdapat parameter yang melebihi Baku Mutu Air (BMA) kelas 1 PP 82 Tahun 2001 yaitu BOD, COD, PO4, NO3, NO2, Flouride, minyak, lemak, MBAS, CACO3 dan Phenol”.
Kejadian serupa berpotensi besar akan terus terjadi. Sebab saat ini, terdapat lima perusahaan pemegang izin usaha pertambangan yang konsesinya berada pada hulu dan badan sungai Malinau. Kelima perusahaan itu, antara lain PT Artha Marth Naha Kramo (AMNK), PT Amarta Teknik Indonesia (ATI), PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC), PT Baradinamika Mudasukses (BM), dan PT Mitrabara Adiperdana (MA).
Kejadian yang kembali berulang serta tetap berpotensi akan terus terulang ke depan, tentu saja akan semakin mengorbankan ekosistem sungai dan keselamatan warga demi keberlanjutan bisnis energi kotor ini. Kejadian yang terus berulang, serta tidak adanya sanksi yang tegas bagi perusahaan yang terlibat dalam pencemaran Sungai Malinau ini, semakin menegaskan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak berdaya di hadapan perusahaan-perusahaan tambang batu bara ini.
Untuk itu, JATAM Kaltara menuntut agar segera ada upaya tegas oleh pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena jelas telah terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat peristiwa ini. Tak hanya itu, karena kasus ini adalah kejadian yang terus berulang terkait investasi pertambangan dan telah mengancam keselamatan rakyat, maka pihak Kementerian Investasi serta Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral juga pihak Kepolisian RI wajib melakukan investigasi menyeluruh dan memberikan sanksi penegakan hukum, baik dari aspek pidana, pidana lingkungan hidup maupun admnistrasi, yakni berupa sanksi pencabutan izin lingkungan maupun izin operasi pertambangan PT KPUC. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan upaya pemulihan Sungai Malinau yang merupakan ruang hidup warga dan juga mahluk hidup yang bukan manusia.
Narahubung:
Andry, JATAM Kalimantan Utara (+62 822-5041-9406)
Muh. Jamil, JATAM Nasional (+62 821-5647-0477)